Pontianak — Bidang Pelayanan Kekayaan Intelektual Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kalimantan Barat mengikuti kegiatan Pelatihan Teknis Indikasi Geografis Tahun Anggaran 2025 pada hari kedua, Selasa, 6 Mei 2025. Kegiatan yang berlangsung secara daring dan luring ini digelar oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemenkumham RI, tepatnya oleh Pusat Pengembangan Pelatihan Teknis dan Kepemimpinan. Pelatihan hari kedua ini diikuti langsung oleh Kepala Bidang Pelayanan KI, Devy Wijayanti, serta Analis KI Ahli Muda, Andy Hermawan Prasetio.
Kegiatan dibuka dengan paparan dari Awang Maharijaya, Ketua Tim Ahli Indikasi Geografis, yang menekankan pentingnya strategi identifikasi potensi Indikasi Geografis (IndiGeo) di setiap daerah. Menurutnya, IndiGeo bukan sekadar label produk, tetapi merupakan tanda yang mencerminkan reputasi, kualitas, dan karakteristik produk yang terbentuk karena pengaruh lingkungan geografis dan budaya lokal. Ia juga menyoroti tantangan di lapangan seperti minimnya kesadaran produsen dan lemahnya kelembagaan yang mendukung.
Awang turut menjabarkan tahapan teknis identifikasi potensi IndiGeo, mulai dari inventarisasi produk unggulan daerah hingga analisis dampak sosial dan lingkungan. Ia menekankan perlunya keterlibatan riset ilmiah dalam mengkaji keunikan produk dari segi rasa, aroma, hingga proses produksi. Faktor alam dan manusia menjadi penentu utama dalam menilai kekhasan produk. Ia juga menggarisbawahi pentingnya evaluasi hukum terhadap kemungkinan konflik merek dan kesiapan kelembagaan pengelola IndiGeo.
Paparan berikutnya datang dari Pahlevi Witantra, Kepala Bidang Pelayanan KI Kanwil Kemenkum Jawa Timur. Ia menggarisbawahi bahwa perlindungan IndiGeo tidak hanya memberikan jaminan hukum, tetapi juga menjadi alat pemberdayaan ekonomi lokal. Pahlevi menjelaskan bahwa kolaborasi antara produsen, enabler seperti pemerintah dan akademisi, serta pelaku pasar merupakan kunci keberhasilan pengembangan IndiGeo.
Pahlevi kemudian membagikan kisah sukses perlindungan IndiGeo di Jawa Timur, seperti pada produk Mangga Putar Pasuruan dan Bawang Merah Sumenep. Menurutnya, keberhasilan ini tercapai melalui kolaborasi aktif antara petani, pemda, dan MPIG (Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis), dengan dukungan intensif dari Kanwil Kemenkum dalam bentuk edukasi hukum dan fasilitasi penyusunan dokumen.
Sesi ketiga diisi oleh Kuswardhanti Ariwati Rahayu, Sekretaris Tim Bidang Pemeriksaan Substantif IndiGeo, yang membahas pentingnya Dokumen Deskripsi sebagai komponen utama dalam pengajuan perlindungan IndiGeo. Ia menjelaskan bahwa dokumen ini harus memenuhi standar Permenkumham No. 12 Tahun 2019 dan memuat informasi rinci mulai dari batas wilayah hingga metode uji kualitas.
Kuswardhanti menambahkan bahwa setiap data dalam dokumen harus memiliki dasar ilmiah yang kuat, seperti hasil uji laboratorium dan pengujian organoleptik. Ia juga menegaskan pentingnya pelibatan produsen lokal dalam penyusunan dokumen agar sesuai dengan realita lapangan. Dokumen ini nantinya menjadi landasan legal yang melindungi keunikan dan nilai ekonomi produk daerah.
Riyadil Jinan, Tim Ahli IndiGeo, melanjutkan sesi pelatihan dengan membahas pentingnya mendeskripsikan karakteristik produk secara ilmiah dan sistematis. Ia menjelaskan bahwa data fisik, kimia, dan organoleptik harus disertakan sebagai bukti. Ia juga menekankan pentingnya peta batas wilayah dan penjabaran sejarah produk secara jelas dalam dokumen deskripsi.
Selain itu, Riyadil menekankan bahwa proses produksi yang dijabarkan harus mencerminkan praktik nyata yang dilakukan masyarakat, bukan hanya mengacu pada SOP ideal. Ia mencontohkan bahwa teknik produksi tradisional sering kali menjadi identitas unik yang memperkuat klaim Indikasi Geografis dan harus diangkat secara rinci.
Penutupan sesi pelatihan diisi oleh Tri Reni Budiharti dari Tim Pengawas IndiGeo, yang menyampaikan simulasi penyusunan dokumen deskripsi. Ia menekankan pentingnya menyusun dokumen secara sistematis dengan memuat semua komponen utama, termasuk label produk dan sejarah lokal. Ia juga memberikan contoh dari produk seperti Tenun Gringsing Bali untuk menggambarkan hubungan antara teknik tradisional dan identitas geografis.
Sebagai tindak lanjut dari pelatihan ini, Kanwil Kemenkum Kalbar merencanakan untuk mengadakan sosialisasi kepada produsen lokal, menginisiasi pembentukan MPIG, serta menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi untuk penyusunan kajian ilmiah. Upaya ini diharapkan dapat mendorong potensi produk lokal Kalimantan Barat agar mendapat pengakuan dan perlindungan hukum melalui skema Indikasi Geografis.