
Pontianak - Isu royalti lagu kembali menjadi sorotan publik, hal ini menjadi landasan diskusi terbuka bertajuk “Polemik Royalti Lagu: Antara Hak Cipta dan Ketakutan Pelaku Usaha”, yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Garuda TV dari Sarinah, Jakarta pada Selasa malam, 5 Agustus 2025. Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber penting dari kalangan pemerintah, pelaku usaha, pengamat musik, serta Lembaga Manajemen Kolektif, guna membahas polemik yang selama ini membayangi kewajiban pembayaran royalti atas pemutaran lagu di ruang publik, seperti restoran, kafe, dan hotel.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kalimantan Barat Jonny Pesta Simamora, Kepala Divisi Pelayanan Hukum Farida, Kepala Bidang Pelayanan KI Devy Wijayanti, JFT, JFU, CASN serta Helpdesk KI mengikuti kegiatan secara terpisah di kediaman masing-masing. Dialog ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam terhadap implementasi Undang-Undang Hak Cipta, serta membahas tantangan dan harapan terhadap mekanisme pemungutan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Isu utama yang mencuat adalah ketakutan dan kebingungan pelaku usaha terhadap kewajiban royalti, terutama menyangkut transparansi tarif, kewenangan pemungutan, dan kepastian hukum.
Johnny Maukar, Komisioner LMKN Bidang Kolekting dan Lisensi, menjelaskan bahwa pihaknya bertugas mengelola dan mendistribusikan royalti secara kolektif kepada para pencipta lagu. Ia menekankan bahwa pemanfaatan karya di ruang publik bersifat komersial dan karena itu wajib membayar royalti sebagai bentuk penghormatan terhadap hak cipta. “Kami tidak ingin memberatkan, tapi hak cipta adalah hak yang harus dihormati,” ujar Johnny. Ia juga menambahkan bahwa skema tarif telah disesuaikan berdasarkan skala dan jenis usaha.
Namun, tak sedikit pelaku usaha yang merasa terbebani. Hal ini diungkapkan oleh Susanty Widjaya, Ketua Resto PHRI sekaligus Ketua Asosiasi Seniman dan Kreator Indonesia (Asensi). Ia menyebutkan bahwa banyak pelaku usaha kecil menengah merasa bingung dengan skema pembayaran royalti dan belum memahami kepada siapa mereka harus membayar. “Kami tidak anti royalti, tapi pelaku usaha perlu tahu apa yang harus dibayar, kepada siapa, dan bagaimana mekanismenya,” tegas Susanty.
Susanty juga mengingatkan bahwa ketidakhadiran sosialisasi yang memadai menjadi sumber resistensi. Menurutnya, pelaku usaha terutama di sektor UMKM berisiko terdampak jika skema pembayaran royalti tidak disesuaikan secara proporsional. Ia mengusulkan perlunya kejelasan regulasi yang tidak multitafsir serta lebih adil dalam implementasinya agar tidak mengganggu keberlangsungan usaha kecil.
Buddy Ace, pengamat musik yang turut menjadi narasumber, menyatakan bahwa royalti bukan hanya hak hukum pencipta, tetapi juga bentuk apresiasi yang menciptakan insentif bagi pertumbuhan industri kreatif. Ia menyoroti pentingnya edukasi publik agar royalti tidak dipersepsikan sebagai beban. “Pemutaran lagu bukan sekadar hiburan, tapi strategi bisnis. Sudah sepantasnya pencipta mendapatkan haknya,” ucap Buddy, seraya mendorong agar pengelolaan royalti dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Sementara itu, Razilu, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum RI, menegaskan bahwa pelindungan hak cipta bukan hanya soal hukum, tetapi juga keadilan ekonomi. Menurutnya, pemerintah tidak bertindak sebagai pemungut, namun sebagai fasilitator dalam membangun ekosistem yang menghargai hak pencipta. Ia menyatakan bahwa royalti bukan pungutan liar, melainkan penghargaan terhadap karya yang memiliki nilai ekonomi.
Razilu juga mengakui bahwa masih banyak pelaku usaha yang belum memahami hak dan kewajiban terkait pemanfaatan karya cipta. Oleh karena itu, DJKI akan terus mendorong edukasi dan transparansi dalam pengelolaan royalti. “Ketika sistem ini berjalan dengan adil, maka industri kreatif Indonesia akan tumbuh secara sehat dan berkelanjutan,” tambahnya.
Diskusi juga menyoroti pentingnya peran negara dan LMK dalam menyusun sistem pendataan yang komprehensif. Regulasi yang jelas, mekanisme distribusi yang transparan, dan pelaporan yang akurat diharapkan mampu menjembatani kepentingan pencipta dan pengguna karya, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan atau ketimpangan.
Menanggapi kompleksitas permasalahan, seluruh narasumber sepakat bahwa solusi tidak bisa dicapai hanya dengan satu pendekatan. Diperlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, pelaku usaha, komunitas kreatif, dan masyarakat. Edukasi publik secara masif dan berkelanjutan dinilai sebagai langkah utama yang harus diprioritaskan untuk memperkuat kesadaran terhadap pentingnya menghormati hak cipta.
Tindak lanjut dari diskusi ini antara lain adalah komitmen pemerintah melalui DJKI dan LMKN untuk meningkatkan sosialisasi terkait hak cipta dan kewajiban royalti secara berkelanjutan. Selain itu, distribusi royalti harus dilakukan secara transparan dan dapat diaudit, sehingga kepercayaan publik dan pencipta tetap terjaga. Penyusunan tarif yang proporsional serta dialog berkelanjutan antara pencipta dan pelaku usaha juga menjadi bagian penting dari upaya membangun ekosistem yang adil dan inklusif.
Dengan diskusi ini, diharapkan terbangun pemahaman bersama bahwa royalti bukanlah bentuk pemerasan terhadap pelaku usaha, melainkan bentuk apresiasi yang layak diterima oleh pencipta karya. Langkah ini merupakan bagian dari strategi besar untuk mendorong pertumbuhan industri kreatif Indonesia sekaligus memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual secara menyeluruh.








