
JAKARTA — Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menggelar pertemuan dengan pengurus Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) untuk membahas mekanisme dan skema pembayaran royalti lagu dan/atau musik bagi lembaga penyiaran radio. Pertemuan berlangsung pada, di kantor LMKN, Jl. H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Kamis (30/10).
Ketua LMKN Pencipta, Andi Mulhanan Tombolotutu, mengatakan pertemuan tersebut merupakan langkah awal dalam membangun kesepahaman antara regulator dan pelaku industri penyiaran. Ia menegaskan LMKN terbuka menerima masukan dari asosiasi radio untuk menemukan skema pembayaran royalti yang lebih adil dan realistis.
“LMKN butuh masukan dan saran dari pengurus PRSSNI agar dapat mengambil langkah yang tepat dan strategis ke depan terkait pembayaran royalti,” ujar Andi.
LMKN berharap diskusi tersebut dapat menjadi dasar penyusunan kebijakan tarif yang tidak hanya berpihak pada pencipta lagu dan musisi, tetapi juga mempertimbangkan kondisi finansial lembaga penyiaran radio di seluruh Indonesia.
Komisioner LMKN, M. Noor Korompot, menegaskan bahwa penghargaan terhadap hak ekonomi dan hak moral para pencipta lagu tetap harus dijalankan. Ia memahami bahwa banyak pengelola radio menghadapi tekanan ekonomi, tetapi kewajiban hukum tetap berlaku.
“Pengelola radio memang dalam kondisi yang miris dari sisi omset, namun LMKN meminta agar penghargaan hak komersial dan hak moral wajib dilaksanakan sesuai kebijakan tarif royalti berdasarkan PP No. 56 Tahun 2021,” kata Noor Korompot.
Ia menambahkan bahwa LMKN menerima masukan agar tarif royalti ditinjau ulang, namun penyesuaian tidak bisa dilakukan secara instan.
 “Peninjauan kembali membutuhkan waktu dan analisis data yang jelas. Tarif yang rasional harus diukur dari banyak parameter, termasuk laporan pajak yang menunjukkan omzet usaha setahun,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum PRSSNI, M. Rafiq, menyambut baik dibukanya ruang dialog oleh LMKN. Ia menegaskan bahwa sejak 1989, radio swasta telah membayar royalti kepada pencipta lagu melalui LMK Karya Cipta Indonesia (KCI).
 “Asosiasi Radio Swasta berdiri pada 1974 dan kini memiliki 546 anggota di 153 kota. Kami membayar royalti sejak 1989 melalui KCI,” kata Rafiq.
Namun persoalan muncul ketika pemerintah menetapkan tarif royalti tanpa melibatkan PRSSNI, yang menyebabkan kebuntuan dalam mekanisme penagihan. Untuk itu, PRSSNI mengusulkan skema baru berdasarkan kategori radio:
- Kategori A: Rp1,5 juta per tahun
- Kategori B: Rp1 juta per tahun
- Kategori C: Rp500 ribu per tahun
“Format radio di Indonesia sangat beragam. Ada yang memutar musik, ada yang fokus berita, bahkan beberapa radio di Jawa Tengah hanya menyiarkan musik wayang,” tambah Rafiq.
Menanggapi dinamika tersebut, Kepala Kanwil Kemenkum Kalimantan Barat, Jonny Pesta Simamora, memberikan pandangan bahwa dialog antara LMKN dan PRSSNI merupakan langkah penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem industri kreatif dan penyiaran.
“Skema royalti harus mampu melindungi hak pencipta tanpa mengabaikan keberlangsungan pelaku industri penyiaran. Prinsip keadilan dan kepastian hukum harus berjalan beriringan, karena keberhasilan ekosistem musik nasional ditentukan oleh sinergi yang sehat antara pencipta, pengguna, dan negara,” tegas Jonny.
Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah dan Kantor Wilayah siap mendukung implementasi kebijakan yang selaras dengan hukum nasional. “Kami berharap diskusi seperti ini menghasilkan formula yang proporsional dan dapat diterapkan secara efektif, sehingga tidak menimbulkan beban berlebihan bagi radio, namun tetap menjamin hak ekonomi pencipta,” ujarnya.
Pertemuan antara LMKN dan PRSSNI ini diharapkan menjadi titik awal terbentuknya kebijakan tarif royalti yang lebih proporsional, melindungi hak pencipta, dan menjaga keberlanjutan industri radio nasional. (Humas/Jm).
Dokumentasi:



















