Pontianak - Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kalimantan Barat bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan Universitas Panca Bhakti (UPB) Pontianak menyelenggarakan kegiatan Edukasi Kekayaan Intelektual dengan tema “Hak Cipta di Era Kecerdasan Artifisial”. Acara berlangsung di Convention Center Universitas Panca Bhakti dan diikuti oleh sekitar 650 peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa, pimpinan perguruan tinggi, pelaku industri kreatif, UMKM, dan media, Senin (01/12).
Kegiatan ini menjadi forum penting dalam memperkuat literasi Kekayaan Intelektual (KI) di tengah perkembangan teknologi kecerdasan artifisial (AI) yang semakin mempengaruhi proses penciptaan karya. Melalui edukasi ini, civitas akademika diajak memahami peluang dan risiko penggunaan AI, serta pentingnya menjaga etika dan integritas akademik.
Hadir dalam kegiatan ini, Kepala Kantor Wilayah Kemenkum Kalbar Jonny Pesta Simamora, Kepala Divisi Pelayanan Hukum Farida Wahid, Kepala Divisi Perancang Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum Zuliansyah, Kepala Bagian Tata Usaha dan Umum Ferry Indrawan, dan Kepala Bidang Kekayaan Intelektual Devy Wijayanti beserta tim JFT, JFU, CPNS Analis KI, serta Helpdesk Layanan KI.
Dari pihak eksternal, kegiatan ini turut dihadiri Rektor UPB Pontianak, Rektor Universitas Tanjungpura, Rektor IAIN Pontianak, pimpinan politeknik, universitas swasta, serta Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Barat dan Plt. Kepala Balitbang Provinsi Kalbar. Kehadiran berbagai institusi ini menegaskan komitmen bersama dalam penguatan literasi KI di tingkat daerah.
Kegiatan dibuka dengan laporan panitia oleh Farida Wahid yang menegaskan perlunya sinergi antara Kanwil, DJKI, dan perguruan tinggi untuk menguatkan ekosistem KI. Ia menyebut bahwa AI membawa peluang besar sekaligus risiko, mulai dari keaslian karya hingga potensi pelanggaran hak cipta.
Menurut Farida, dunia akademik harus adaptif menghadapi perubahan teknologi, termasuk menyusun pedoman pemanfaatan AI yang menekankan kehati-hatian hukum dan etika. Ia juga mendorong perguruan tinggi lebih aktif mencatatkan karya cipta dosen dan mahasiswa sebagai indikator mutu akademik.
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Agusalim Masulili selaku Wakil Rektor I UPB. Ia menyampaikan apresiasi terhadap kolaborasi ini dan menekankan bahwa kampus harus menjadi garda terdepan dalam memahami dan melindungi karya ilmiah di tengah pesatnya kemajuan teknologi.
Agusalim menegaskan bahwa penggunaan AI di lingkungan kampus harus dipahami sebagai alat bantu, bukan pengganti kreativitas manusia. Transparansi penggunaan teknologi wajib diterapkan dalam setiap tugas akademik untuk mencegah pelanggaran etika.
Kegiatan kemudian memasuki sesi keynote speech oleh Jonny Pesta Simamora. Jonny menyampaikan bahwa KI telah menjadi aset strategis pembangunan daerah, sehingga peningkatan literasi di kalangan akademisi merupakan langkah penting dalam membangun ekosistem inovasi yang kuat.
Jonny menjelaskan tantangan KI di daerah, di antaranya literasi yang masih rendah serta minimnya pendampingan teknis. Ia mengajak perguruan tinggi menjadi motor penggerak pendaftaran KI dan hilirisasi hasil riset yang bernilai ekonomi.
Usai sambutan, dilakukan prosesi penyerahan plakat penghargaan sebagai bentuk apresiasi atas dukungan dan komitmen para mitra dalam memperkuat edukasi KI.
Materi pertama disampaikan oleh Jonny Pesta Simamora yang menegaskan pentingnya pencatatan Hak Cipta sebagai bukti kepemilikan yang sah. Di era AI, pencatatan Hak Cipta menjadi semakin penting untuk menjaga integritas karya dan menghindari klaim kepemilikan yang tidak sah.
Kakanwil juga menjelaskan bahwa Kanwil terus mendorong layanan KI berbasis digital, memfasilitasi pendaftaran, serta membantu perguruan tinggi dalam membangun budaya inovasi yang adaptif terhadap perkembangan AI dan teknologi digital lainnya.
Materi berikutnya disampaikan oleh Achmad Iqbal dari DJKI yang memaparkan konsep dasar hubungan antara AI dan hak cipta. Iqbal menegaskan bahwa menurut hukum Indonesia, AI tidak dapat dianggap sebagai pencipta, sehingga karya sepenuhnya hasil AI tidak dilindungi hak cipta.
Iqbal menjelaskan bahwa karya berbantuan AI masih dapat dilindungi selama terdapat kontribusi kreatif manusia yang signifikan. Ia juga memaparkan potensi plagiarisme, penggunaan wajar, serta pentingnya transparansi penggunaan AI dalam riset dan penulisan.
Iqbal menambahkan bahwa DJKI sedang menyiapkan berbagai pembaruan regulasi untuk menyesuaikan perkembangan teknologi. Hal ini termasuk penegasan prinsip bahwa Hak Cipta merupakan hasil ekspresi orisinal manusia yang tidak dapat digantikan mesin.
Sesi tanya jawab berjalan sangat interaktif. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi mengangkat isu tentang batas penggunaan AI dalam tugas kuliah, dampaknya terhadap kreativitas, hingga isu pelarangan buku dan hubungannya dengan Hak Cipta.
Jonny menjawab secara seimbang dengan menegaskan bahwa AI adalah alat bantu, bukan pengganti proses berpikir. Pelarangan buku, katanya, lebih terkait substansi, bukan persoalan KI. Mahasiswa tetap wajib mempertanggungjawabkan keaslian dan integritas karya akademiknya.
Dalam diskusi lanjutan, narasumber menjelaskan mengenai keberlanjutan Sentra KI di kampus dan kaitannya dengan regulasi. Sementara itu, perwakilan Dinas Pendidikan menanyakan penerapan restorative justice dalam kasus tertentu yang berkaitan dengan perkembangan teknologi, yang dijelaskan secara komprehensif oleh Kepala Kantor Wilayah.
Kegiatan ditutup oleh moderator Dr. Setyo Utomo yang merangkum bahwa literasi KI dan kecermatan dalam memanfaatkan AI menjadi kunci menciptakan ekosistem akademik yang etis dan berdaya saing. Ia menegaskan bahwa kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat menjadi fondasi penting dalam menghadapi tantangan era digital.
